Cari Blog Ini

Catatan Kritis Tentang Hukum

Jangan Katakan Menyerah Dalam Suatu Perjuangan

Rabu, 06 Januari 2010

ALIRAN-ALIRAN PEMIKIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM

ALIRAN-ALIRAN PEMIKIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM
Membuka tabir kebenaran dalam aliran pemikiran para filosof dan eksistensinya pada kajian ilmu hukum.
iLHam Jiwa Ardhyantara..
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM DARI BERBAGAI MAZHAB/ALIRAN
Mazhab Hukum Alam.
Banyak pemikiran-pemikiran dari para ahli filsafat masa lampau yang menghasilkan banyak aliran dalam filsafat. Semua aliran yang didasari atas pemikiran yang mendalam tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor yang tidak sama.
Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori didalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam hukum alam bermunculan dari masa ke masa.
Mempelajari sejarah hukum alam, maka kita akan mengkaji sejarah manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta kegagalan-kegagalannya. Pada suatu saat hukum alam muncul dengan kuatnya, pada saat yang lain ia diabaikan, tetapi yang pasti hukum alam tidak pernah mati.
Hukum Alam adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dari alam semesta dan dari akal budi manusia, karenanya ia di gambarkan sebagai hukum yang berlaku abadi. Hukum alam dalam aliran pemikiran disebut juga aliran Naturalisme, Diantara sekian banyak aliran filsafat tersebut, Aliran filsafat naturalisme lahir sebagai reaksi terhadap aliran filasafat pendidikan Aristotalian-Thomistik. Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan mengalami perkembangan pada abad ke 18. Naturalisme berkembang dengan cepat di bidang sains. Ia berpandangan bahwa “Learned heavily on the knowledge reported by man’s sense”. Secara definitif naturalisme berasal dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature” hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual, istilah itu mencakup bukan hanya alam fisik tetapi juga alam intelektual dan moral.
Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya Matahari, peredaran planet-planet dan susunan bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-contoh sederhana. Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Tugas ilmu pengetahuan umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah, mengkaji, menghubungkan semua keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini di titik tertentu mengalami kesulitan yang luar biasa.
Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam.
Aliran filsafat naturalisme didukung oleh tiga aliran besar yaitu realisme, empirisme dan rasionalisme. Pada dasarnya, semua penganut naturalisme merupakan penganut realisme, tetapi tidak semua penganut realisme merupakan penganut naturalisme. Imam Barnadib menyebutkan bahwa realisme merupakan anak dari naturalisme. Oleh sebab itu, banyak ide-ide pemikiran realisme sejalan dengan naturalisme. Salah satunya adalah nilai estetis dan etis dapat diperoleh dari alam, karena di alam tersedia kedua hal tersebut.
Hukum alam dimaknai dalam berbagai arti oleh beberapa kalangan pada masa yang berbeda. Berikut ini akan di paparkan pandangan hukum alam dari Aristoteles, Thomas Aquinas, Plato, William R. Dennes. (Filsuf Modern), dan Hugo Grotius;

Aristoteles;
Aristoteles merupakan pemikir tentang hukum yang petama-tama membedakan antara hukum alam dan hukum positip.
Hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam dibedakan dengan hukum positif, yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.
Hukum harus ditaati demi keadilan. Keadilan selain sebagai keutamaan umum (hukum alam) juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus. Keadilan menentukan bagaimana hubungan yang baik antara sesama manusia, yang meliputi keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik, keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam hukum pidana, keadilan dalam hukum privat.
Aristoteles menyatakan bahwa mahluk-mahluk hidup didunia ini terdiri atas dua prinsip :
Þ Prinsip formal, yakni bentuk atau hakekat adalah apa yang mewujudkan mahluk hidup tertentu dan menentukan tujuannya.
Þ Prinsip material, yakni materi adalah apa yang merupaakn dasar semua mahluk.
Sesudah mengetahui sesuatu hal menurut kedua prinsip intern itu pengetahuan tentang hal itu perlu dilengkapi dengan memandang dua prinsip lain, yang berada diluar hal itu sendiri, akan tetapi menentukan adanya juga. Prinsip ekstern yang pertama adalah sebab yang membuat, yakni sesuatu yang menggerakan hal untuk mendapat bentuknya. Prinsip ekstern yang kedua adalah sebab yang merupakan tujuan, yakni sesuatu hal yang menarik hal kearah tertentu. Misalnya api adalah untuk membakar, jadi membakar merupakan prinsip final dari api. Ternyata pandangan tentang prisnip ekstern keuda ini diambil dari hidup manusia, dimana orang bertindak karena dipengaruhi oleh tujuan tertentu, pandangan ini diterapkan pada semau mahluk alam. Seperti semua mahluk manusia terdiri atas dua prinsip, yaitu materi dan bentuk.
Materi adalah badan, karena badan material itu manusia harus mati, yang memberikan bentuk kepada materi adalah jiwa. Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan hidup vegetatif (seperti jiwa tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa binatang) akhirnya membentuk hidup intelektif. Oleh karena itu jiwa intelektif manusia mempunyai hubungan baik dengan dunia materi maupun dengan dunia rohani, maka Aristoteles membedakan antara bagian akal budi yang pasif dan bagian akal budi yang aktif. Bagian akal budi yang pasif berhubungan dengan materi, dan bagian akal budi yang yang aktif berhubungan dengan rohani. Bagian akal budi yang aktif itu adalah bersifat murni dan Illahi. Akal budi yang aktif menjalankan dua tugas. Tugas yang pertama adalah memandanf yang Illahi untuk mencari pengertian tentang mahluk-mahluk menurut bentuknya masing-masing. Tugas yang kedua dari akal budi manusia yang aktif adalah memberikan bimbingan kepada hidup praktis. Disini diperlukan sifat keberanian, keadilan dan kesederhanaan

Thomas aquinas;
Dalam membahas hukum Thomas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu dan hukum yang dijangkau akal budi manusia. Hukum yang didapat wahyu disebut hukum ilahi positif (ius divinum positivum). Hukum yang didapatkan berdasarkan akal budi adalah ‘hukum alam’(ius naturale), hukum bangsa-bangsa(ius gentium), dan hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).
Menurut Aquinas hukum alam itu agak umum, dan tidak jelas bagi setiap orang, apa yang sesuai dengan hukum alam itu. Oleh karenanya perlu disusun undang-undang negara yang lebih kongkret mengatur hidup bersama. Inilah hukum posisif. Jika hukum positif bertentangan dengan hukum alam maka hukum alam yang menang dan hukum positif kehilangan kekuatannya. Ini berarti bahwa hukum alam memiliki kekuatan hukum yang sungguh-sungguh. Hukum positif hanya berlaku jika berasal dari hukum alam. Hukum yang tidak adil dan tidak dapat diterima akal, yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut sebagai hukum, tetapi hukum yang menyimpang

Plato. (427 – 347 SM)
Salah satu anasir dasar adalah perbedaan yang nyata antara gejala (fenomena) dan bentuk ideal (eidos), dimana plato berpandangan bahwa, disamping dunia fenomen yang kelihatan, terdapat suatu dunia lain, yang tidak kelihatan yakni dunia eidos. Dunia yang tidak kelihatan itu tercapai melalui pengertian (theoria). Apa arti eidos dan hubungannya dengan dunia fenomena bahwa memang terdapat bentuk-bentuk yang ideal untuk segala yang terdapat dibumi ini. Tetapi asalnya tidak lain daripada dari sumber segala yang ada, yakni yang tidak berubah dan kekal, yang sungguh-sungguh indah dan baik yakni budi Ilahi (nous), yang menciptakan eidos-eidos itu dan menyampaikan kepada kita sebagai pikiran. Sehinnga dunia eidos merupakan contoh dan ideal bagi dunia fenomena.

William R. Dennes. (Filsuf Modern)
Beberapa pandangan pandangannya menyatakan bahwa:
- Kejadian dianggap sebagai ketegori pokok, bahwa kejadian merupakan hakekat terdalam dari kenyataan, artinya apapun yang bersifat nyata pasti termasuk dalam kategori alam
- Yang nyata ada pasti bereksistensi, sesuatu yang dianggap terdapat diluar ruang dan waktu tidak mungkin merupakan kenyataan dan apapun yang dianggap tidak mungkin ditangani dengan menggunakan metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam tidak mungkin merupakan kenyataan
- Analisa terhadap kejadian-kejadian, bahwa faktor-faktor penyusun seganap kejadian ialah proses, kualitas, dan relasi
- Masalah hakekat terdalam merupakan masalah ilmu, bahwa segenap kejadian baik kerohanian, kepribadian, dan sebagainya dapat dilukiskan berdasarkan kategorikategori proses, kualitas dan relasi
- Pengetahuan ialah memahami kejadian-kejadian yang saling berhubungan, pemahaman suatu kejadian, atau bahkan kenyataan, manakala telah mengetahui kualitasnya, seginya, susunanya, satuan penyusunnya, sebabnya, serta akibat-akibatnya.


Hugo grotius;
Grotius adalah penganut humanisme, yang mencari dasar baru bagi hukum alam dalam diri manusia sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk mengerti segala-galanya secara rasional melalui pemikirannya menurut hukum-hukum matematika. Manusia dapat menyusun daftar hukum alam dengan menggunakan prinsip-prinsip a priori yang dapat diterima secara umum. Hukum alam tersebut oleh Grotius dipandang sebagai hukum yang berlaku secara real sama seperti hukum positif.
Hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak ada. Sebabnya adalah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai bagian dari hakekatnya. Dilain pihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta alam semesta. Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan pundamen hukum alam. Hak-hak alam yang ada pada manusia adalah;
 hak untuk berkuasa atas diri sendiri, yakni hak atas kebebasan.
 hak untuk berkuasa atas orang lain.
 hak untuk berkuasa sebagai majikan
 hak untuk berkuasa atas milik dan barang-barang.
Grotius juga memberikan prinsip yang menjadi tiang dari seluruh sistem hukum alam yakni:
 prinsip kupunya dan kau punya. Milik orang lain harus dijaga.
 prinsip kesetiaan pada janji.
 prinsip ganti rugi
 prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam.
Sebagaimana telah di utarakan di muka, hukum alam ini selalu dapat dikenali sepanjang abad-abad sejarah manusia, oleh karena ia merupakan usaha manusia untuk menemukan hukum dan keadilan yang ideal.

PANDANGAN ALIRAN FILSAFAT NATURALISME TERHADAP PENDIDIKAN
Dimensi utama dan pertama dari pemikiran aliran filsafat naturalisme di bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Peserta didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan dengan pandangannya adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek. Pendidikan tidak hanya sebatas untuk menjadikan seseorang mau belajar, melainkan juga untuk menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana.
Naturalisme dalam filsafat pendidikan mengajarkan bahwa guru paling alamiah dari seorang anak adalah kedua orang tuanya[5]. Oleh karena itu, pendidikan bagi penganut paham naturalis perlu dimulai jauh hari sebelum proses pendidikan dilaksanakan. Sekolah merupakan dasar utama dalam keberadaan aliran filsafat naturalisme karena belajar merupakan sesuatu yang natural, oleh karena itu fakta bahwa hal itu memerlukan pengajaran juga merupakan sesuatu yang natural juga. Paham naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek, melainkan mengajar murid.
Terdapat lima tujuan pendidikan paham naturalisme yang sangat terkenal yang diperkenalkan Herbert Spencer melalui esai-esainya yang terkenal berjudul “Ilmu Pengetahuan Apa yang Paling Berharga?”. Kelima tujuan itu adalah (1) Pemeliharaan diri; (2) Mengamankan kebutuhan hidup; (3) Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan sosial dan politik; (5) Menikmati waktu luang.
Spencer juga menjelaskan tujuh prinsip dalam proses pendidikan beraliran naturalisme, adalah (1) Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam; (2) Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik; (3) Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak; (4) Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan; (5) Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak; (6) Praktik mengajar adalah seni menunda; (7) Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara induktif; (Hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik.
Mazhab Formalistis atau Aliran Positivisme.
Pendapat yang menyatakan bahwa induk dari segala macam ilmu pengetahuan adalah Filsafat merupakan argumen yang hampir diterima oleh semua kalangan. Hal ini terbukti dengan adanya hubungan yang erat antara ilmu pengetahuan tertentu dengan filsafat tertentu, seperti filsafat hukum yang melahirkan ilmu hukum dan seterusnya.
Filsafat hukum adalah refleksi teoretis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua refleksi teoretis tentang hukum. Filsafat hukum adalah filsafat atau bagian dari filsafat yang mengarahkan (memusatkan) refleksinya terhadap hukum atau gejala hukum. Sebagai refleksi kefilsafatan, filsafat hukum tidak ditujukan untuk mempersoalkan hukum positif tertentu, melainkan merefleksi hukum dalam keumumannya atau hukum sebagai demikian (law as such). Filsafat hukum berusaha mengungkapkan hakikat hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum sejauh yang mampu dijangkau oleh akal budi manusia.Bila merujuk pada sejarah pemikiran barat, seperti disebutkan oleh Scheltens, filsafat merupakan bentuk tertua dari pemikiran rasional yang bersifat pengertian dan dapat mempertanggung jawabkan dirinya sendiri. Boleh dikatakan meliputi seluruh daerah pemikiran manusia, yang merupakan keseluruhan yang hampir-hampir tidak dibedakan. Pada perkembangan berbagai pengetahuan menyadari obyek dan metodenya sendiri, bahkan mengabsolutkan diri, yang lambat laun memisahkan diri dari filsafat. Lebih lanjut Scheltens menyebutkan bahwa para ilmuan berputus arang dengan filsafat, menganggap filsafat sama sekali tidak diperlukan, tidak bermanfaat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terpukau oleh keberhasilan metodenya sendiri dan arena kejelasan serta ketetapan lapangan telaah sendiri, orang lalu menghapus filsafat, dengan keyakinan bahwa mulai sekarang hasil-hasil berbagai ilmu pengetahuan pasti dapat menggantikan dan mengabaikan filsafat.
Kecenderungan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, mendapat dukungan dari gagasan tiga tahap August Comte. Menurutnya sejarah pemikiran manusia berevolusi dalam tiga tahap; tahap teologis (mistis) dimana manusia memecahkan berbagai persoalan dengan meminta bantuan kepada Tuhan atau dewa-dewa, yang tidak terjangkau oleh panca indera; tahap falsafi dimana pada tahap ini hakekat benda-benda merupakan keterangan terakhir dari semua; dan tahap positivis, tahap dimana dunia fakta yang dapat diamati dengan panca indera merupakan satu-satunya obyek pengetahuan manusia. Pada tahap terakhir inilah dunia Tuhan dan dunia filsafat telah ditinggalkan.
Tulisan sederhana ini tidak bermaksud untuk membahas berbagai persoalan tersebut, hanya untuk mencari jawaban bagaimana pengaruh positivisme dalam pemikiran hukum khususnya telaah terhadap positivisme analitis John Austin.
ANALISIS
Filsafat hukum mencari hakekat dari pada hukum, yang menyelidiki kaedah hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai. Dimana ilmu pengetahuan hukum berakhir, disanalah mulai filsafat hukum; ia mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dalam ilmu pengetahuan. Bicara mengenai aliran positivisme, bahwa aliran ini sama tuanya dengan filsafat. Namun baru berkembang pesat pada abad ke 19 tatkala empirisme mendominasi pemikiran. Positivisme lahir dan berkembang di bawah naungan empirisme. Artinya antara empirisme dan positivisme tidak dapat dipisahkan. Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat. Di dalam aliran positivisme hukum dikenal dua sub aliran yaitu : Aliran hukum yang analisis, pendasarnya adalah John Austin Aliran hukum positif yang murni, didepelopori oleh Hans Kelsen.
Dalam tulisan ini sebagaimana dinyatakan terdahulu, memfokuskan pada aliran hukum positif yang analitis oleh John Austin. Positivisme yang dirintis John Austin, yang diberi nama Analytical Judisprudence, dekat sekali dengan mazhab hukum umum. Austin menggunakan metode analisa saja. Melalui analisa sistem-sistem hukum tertentu Austin ingin sampai pada suatu ide umum tentang hukum. Berdasarkan metodenya yang empiris belaka, Austin sampai pada pengertian tentang Negara, yang menurutnya berlaku secara mutlak. Negara dipandangnya sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh orang-orang dalam wilayah tertentu. Negara-negara timbul dan dipertahankan, oleh sebab kebanyakan bawahan mempunyai kebiasaan mentaati pemerintah. Bila kebiasaan itu berhenti maka sudah tidak terdapat negara lagi. Terdapat bermacam-macam alasan untuk mentaati pemerintah. Ada orang yang mentaati oleh sebab mereka berpegang teguh pada prasangka bahwa pemerintah selalu harus ditaati. Sementara alasan lain karena takut akan kekacauan, bila negara dirombak. Semuanya ini dipastikan dalam pengalaman. Nilai-nilainya tidak dipersoalkan. Dapat dipastikan juga bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber hukum. Di atas yang berkuasa hukum tidak ditemukan. Diungkapkan oleh Austin bahwa tiap-tiap Undang-undang positif ditentukan secara langsung atau secara tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota-anggota dari suatu masyarakat politik yang berdaulat, dalam mana pembentuk hukum adalah yang tertinggi. Dengan ketentuan ini Austin tidak menyangkal adanya norma-norma hukum ilahi, norma-norma moral dan juga hukum internasional. Dipastikannya saja, bahwa semua prinsip tersebut tidak mampu untuk meneguhkan atau meniadakan hukum yang berlaku dalam suatu negara.
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai “a command of the Lawgiver” (perintah dari pembentuk Undang-undang atau penguasa), yaitu : suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk. Selanjutnya John Austin membagi hukum itu atas :
1. Hukum ciptaan Tuhan, dan
2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri dari;
a. hukum dalam arti yang sebenarnya yaitu yang disebut juga sebagai hukum positif, terdiri dari:
- hukum yang dibuat oleh penguasa, seperti Undang undang, Peraturan pemerintah dan lain-lain.
- hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual, yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Contohnya: hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian, hak kurator terhadap badan/orang dalam curatele.
b. hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang. Contohnya: ketentuan-ketentuan yang dibuat perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu dalam bidang keolahragaan, mahasiswa dan sebagainya.
Terdapat empat unsur penting menurut John Austin untuk dinamakan sebagai hukum, yaitu:
a. perintah
b. sanksi
c. kewajiban
d. kedaulatan
Adapun keempat unsur tersebut kaitannya satu dengan yang lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
Unsur perintah ini berarti bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah ini tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang terakhir ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang (a souvereign person, or a souvereign body of persons).
Buah pikir John Austin ini tertuang dalam kedua bukunya yang terkenal, yaitu: The Province of Jurisprudence Determined dan Lecture on Jurisprudence.
Aliran positivisme hukum yang analitis yang dipelopori oleh John Austin tersebut pada sekitar abad ke-19 dan dalam bagian pertama abad ke-20, tampaknya menguasai pemikiran hukum di Barat, yang kemudian juga di dasarkan pada filsafat Yunani. Dimana cukup jelas peranan aliran positivisme terutama yang analitis tersebut bahwa penerapan hukumnya dilakukan oleh pihak penguasa. Dengan adanya identifikasi hukum yang aplikasinya diterapkan dengan undang-undang akan menjamin bahwa setiap individu dapat mengetahui dengan pasti apa saja perbuatannya yang boleh dilakukan dan apa saja perbuatannya yang tidak boleh dilakukan. Bahkan negarapun kemudian akan bertindak dengan tegas dan konsekuen sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan diputuskan, dalam melaksanakan keadilan menurut ketentuan negara. Begitu pula dengan penerapan hukum melalui ketentuan-ketentuannya dan peraturan-peraturannya yang ada yang telah dibuat harus dilaksanakan sesuai dengan segala sesuatu yang telah ditetapkan.
Austin adalah tokoh pertama yang memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahasa hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama. Tanpa memperdulikan baik atau buruknya hukum itu, diterima atau tidak oleh masyarakat.
Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar. Semua hukum positif adalah perintah. Perintah dari yang berdaulat atau command of sovereign atau command of law-giver.
Pemegang kedaulatan tidak terikat baik oleh peraturan yang dibuatnya sendiri, maupun oleh asas-asas yang berasal dari atas (moral dan agama). Masalah kedaulatan yang merupakan salah satu unsur dari hukum positif adalah bersifat pra-legal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau sosiologi) dan hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataannya.
Namun disamping kebaikan-kebaikan yang ada dan dikemukakan oleh Aliran Positivisme yang Analitis tersebut sudah, sudah barang tentu terdapat beberapa kelemahan yakni tentang ajaran-ajarannya yang kurang sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakatnya yang hidup dan berdiam dalam masa tersebut. Apabila dilihat secara mendasar, maka kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran Positivisme yang Analitis tersebut adalah justru dengan adanya identifikasi Hukum dan Undang-undang tersebut. Karena jika dilihat dengan nyata, bahwa betapapun buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan ketentuan tersebut telah menjadi Undang-undang yang harus diterapkan dalam masyarakat dan juga secara langsung hakim akan menjadi terikat pada Undang-undang yang telah ditetapkan tersebut.
Peraturan perundang-undangan juga memiliki kelemahan/ kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:
1. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.
2. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum (Bagir Manan. 1992:8)
Dalam kaitannya dengan identifikasi Hukum dan Undang-undang yang demikian kuatnya dilakukan oleh pihak penguasa dan pemerintah, kemudian pada akhirnya dapat saja terhadap Ketentuan Hukum dan Undang-undang tersebut disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang akan menguasai negara secara mutlak dan absolut sesuai dengan keinginannya yang ada pada masa itu. Dimana kemudian pihak penguasa dalam negara dapat menggunakan ketentuan hukum dan Undang-undang untuk memberikan legitimasi kepada tindakan-tindakan mereka yang sebenarnya, dimana menurut perasaan hukum masyarakat tindakan tersebut adalah merupakan tindakan yang tidak bermoral dan kriminal serta menjadi kejam. Sehingga kemudian semua-semua ketentuan dan kehendak yang dikeluarkan oleh perintah pribadi penguasa dapat dijadikan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakatnya, dan kemudian individu-individu yang ada dalam lingkup masyarakat akan berada pada posisi yang dilematis, dimana disatu pihak hukum dan ketentuan dari penguasa tidak dapat dipertahankan secara konsekuen, apabila ketentuan hukum dan perundang-undangan itu sendiri digunakan sebagai alat untuk menindas dari ketidak adilan. Pendapat yang menyatakan bahwa jika undang-undang telah tersedia, terkodifikasi atau fragmentaris maka sudahlah cukup sarana perundang-undangan untuk diandalkan buat menindak setiap pelanggaran ataupun untuk melindungi kepentingan dalam masyarakat. Kurang diperhatikan dan disadari, bahwa pada aturan hukum yang dianggap mendekati keadilan harus dipenuhi syarat bahwa hukum harus mampu mencerminkan tuntutan hati nurani masyarakat khususnya perasaan keadilan mereka. Telah terjadi pergeseran prinsip dan konsepsi dari Negara Hukum menjadi negara Undang-undang yang meletakkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah sebagai ukuran kebenaran. Di dalam undang-undang seperti ini setiap tindakan pemerintah yang tidak adil diberi pembenaran dengan perbuatan undang-undang melalui penggunaan atribusi kewenangan sehingga hukum ditempatkan sebagai alat justifikasi dengan watak positivist – instrumentalistik. Dalam ajaran Austin dikatakan bahwa hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Dengan sifat tetap dan tertutup dari hukum tersebut, maka hukum pada masa itu tidak menerima perkembangan dari pihak manapun sekalipun perkembangan tersebut berasal dari dalam masyarakat lingkup negaranya, akibatnya hukum tidak mengenal dispensasi dan penyimpangan yang dianggap oleh masyarakat setempat tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa setiap hukum harus selalu dipatuhi, oleh karena kadang-kadang hukum pun memberikan dispensasi bagi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sepanjang ketentuan tersebut tidak atau bukan merupakan suatu kejahatan atau delik. Terutama dalam ketentuan hukum yang bersifat privat (terutama dalam hal pembuatan perjanjian diantara pihak-pihak), bahwa ketentuan hukum yang dibuat biasanya tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban, kesusilaan dan kepatutan. Dengan demikian, masalah utamanya adalah bagaimana mengusahakan agar warga-warga masyarakat secara maksimal dapat mematuhi ketentuan hukum tanpa menterapkan paksaan atau kekerasan. Jadi secara sederhana dapat dikatakan, bahwa yang harus diusahakan adalah peraturan-peraturan yang sifatnya tertulis, baik, kewibawaan petugas dan fasilitas pendukung yang cukup, walaupun secara nyata tidaklah dapat dikatakan sebagai hal yang sederhana.
Terhadap ajaran dari Austin yang menyatakan tentang hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yakni hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, bahwa dari ketentuan tersebut jelas terlihat, meskipun hukum disini dapat saja dibuat atau ditetapkan bukan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang, akan tetapi tetap keberadaan dari hukum tersebut pada akhirnya tidak diakui oleh pihak penguasa. Karena konsepnya jelas bahwa hukum tersebut diklasifikasikan sebagai hukum dalam arti yang tidak sebenarnya. Dengan demikian, tetap saja ajaran dari Austin tersebut tidak dapat memberikan tempat bagi masyarakat, berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dianut sehingga kemungkinan terbentuk menjadi suatu aturan yang lebih dihormati dalam masyarakat yang ada menjadi tidak berdaya. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa dari kehidupan bersama manusia yang kemudian mengadakan hubungan dan saling berinterksi antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan tercipta hukum. Baik negara maupun hukum timbul dari kehidupan manusia karena keinginan hati dari masing-masing individu untuk memperoleh ketertiban. Akan tetapi konsep yang seperti ini tidak tampak pada ajaran positivisme yang analitis. Dengan adanya hukum dalam arti yang absolut dan mutlak dari konsekuensi aliran positivisme yang analitik ini, karena makna dari hukum yang dibuat oleh manusia tersebut akan menjadi suatu bentuk dari perintah dan ketentuan yang mutlak yang berasal dari penguasa menjadi suatu keharusan bagi masing-masing individu untuk menjalankannya dengan suka atau tidak suka ataupun mau dan tidak mau. Masyarakat diwajibkan untuk menjalankan dengan sepenuh hati sehingga kemungkinan untuk terbentuknya suatu rezim penguasa yang otoriter dari negara yang menganut ajaran ini akan tercipta dengan mudah sekali.
Hukum dan moral merupakan dua bidang terpisah dan harus dipisahkan.
Salah satu cabang dari aliran yang menganut pendapat diatas adalah mazhab formalistik yang teorinya lebih dikenal dengan nama analytical jurisprudence. Diantara tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah John Austin dan Hans Kelsen.

John Austin;
Austin mendefenisikan hukum sebagai;
“Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada mahluk yang berakal oleh mahluk yang berkuasa atasnya”.
Hukum merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup.
Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur menurut Austin:
 Perintah
 Sanksi (sesuatu yang buruk melekat pada perintah)
 Kewajiban
 Kedaulatan.
Ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan-kebaikan atau keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut dianggapnya sebagai persoalan yang berbeda di luar hukum. Walaupun Austin mengakui hukum Alam atau moral yang mempengaruhi warga masyarakat, tetapi itu tidak penting bagi hukum.



Hans Kelsen;
Adalah tokoh mazhab Formalistis yang terkenal dengan teori murni tentang hukum (pure Thory of law).
Sistem hukum adalah suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan adalah kaidah dasar atau Grundnorm. Grundnorm ini semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum harus di patuhi.
Proses konkretisasi setapak demi setapak mulai dari grundnorm hingga penerapannya pada situasi tertentu. Proses ini melahirkan Stufenbau theori.
Menurut Kelsen dalam ajaran hukum murninya, hukum tidak boleh dicampuri oleh masalah-masalah politik, kesusilaan, sejarah, kemasyarakatan dan etika. Juga tak boleh di campuri oleh masalah keadilan. Keadailan menurut Kelsen adalah masalah ilmu politik.

MAZHAB KEBUDAYAAN DAN SEJARAH
Mazhab hukum historis lahir pada awal aabad XIX, yakni pada tahun 1814, dengan diterbitkannya suatu karangan dari F. Von Savigny, yang berjudul: ‘Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenchaft’ (tentang seruan Zaman kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Tokoh mazhab ini ialah F. Von Savigny dan Sir Henry Maine

Friedrich Carl Von Savigny;
Menurut Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Oleh karena itu hukum merupakan sesuatu yang bersifat supra-individual, suatu gejala masyarakat.
Pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih bertaraf rendah, hukum timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga bangsa. Kemudian sesudah kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat dipercayakan pada suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum dipercayakan kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.
Hakikat dari sistem hukum menurut Savigny adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang.

Sir Henry Maine;
Aliran sejarah telah membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap sejarah dari suatu tata hukum dan dengan demikian mengembangkan pengertian, bahwa hukum itu merupakan suatu unikum. Keadaan yang demikian ini menyuburkan dilakukannya penelitian-penelitian serta karya-karya yang bersifat anthropologis. Maine dianggap sebagai yang pertama-tama melahirkan karya yang demikan.
Maine mengatakan masyarakat ada yang “statis” dan ada yang “progresip”. Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara, yaitu: fiksi, equity dan perundang-undangan. Perubahan masyarakat tidak selalu menuju kepada yang lebih baik. Perjalanan masyarakat menjadi proresip, disitu terlihat adanya perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak.

MAZHAP UTILITARIANISM
Pada mazhab ini tokohnya adalah Jeremy Bentham dan Rudolph Von Jhering.

Jeremy Bentham;
Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak hukum Inggris yang baginya merupakan suatu yang kacau.
Sumbangan terbesarnya terletak dalam bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian yang di pakai adalah “apakah suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan”.
Selanjutnya Betham mengemukakan agar pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual.

Rudolph von Jhering;
Ia dikenal dengan ajarannya yang biasa disebut social utilitarianism.
Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya.
Hukum merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perubahan-perubahan sosial.

MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Tokoh mazhab ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound

Eugen Ehrlich;
Penulis yang pertama kali menyandang judul sosiologi hukum (Grundlegung der Soziologie des Recht, 1912).
Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya.
Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Roscoe Pound;
Hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapr terpenuhi secara maksimal.
Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis(law in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan.

MAZHAB REALISME HUKUM
Tokoh yang terkenal dalamaliran ini adalah hakim agung Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Karl Llewellyn.
Kaum realis tersebut mendasarkan pemikirannya pada suatu konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut mereka hakim itu lebih layak disebut sebagai pembuat hukum daripada menemukannya. Hakim harus selalu melakukan pilian, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan.
Aliran realis selalu menekankan pada hakikat manusiawi dari tindakan tersebut.
Holmes mengatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan suat dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan. Lebih jauh Karl Llewellyn menekankan pada fungsi lembaga-lembaga hukum.
Pokok-pokok pendekatan kaum realis antara lain; hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptkan oleh pengadilan.

Makalah Sosiologi hukum


Hukum dan Dinamika Masyarakat

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Pengembangan dan konsolidasi tatanan hukum nasioanal mengalami perubahan. Hukum cenderung diterapkan meliputi bidang-bidang kehidupan yang sangat luas, mencakup berbagai etnik, asal keturunan, dan golongan, meliputi berbagai macam daerah yang mempunyai ciri fisik dan kebudayaan masing-masng. Hukum perseorangan diganti dengan hukum teritorial, hukum special diganti hukum umum, dan hukum kebiasaan diganti hukum tertulis.
Di dalam masyarakat bangsa Indonesia, politik hukum di antaranya termaktub dalam GBHN dan menjadi salah satu sumber hukum dalam tatanan hukum nasional. Politik hukum itu, antara lain berupa peningkatan pembaharuan kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu, penyusunan peraturan perundang- undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk menunjang pembangunan nasional sejalan dengan tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang di tengah masyarakat
Upaya kearah kodifikasi dan unifikasi hukum di Indonesia, terutama hukum keperdataan merupakan hal yang amat rumit.

Usaha di bidang Ini dihadapkan pada kemajemukan masyarakat Indonesia yang memiliki keaneka ragaman agama dan etnik. Ia juga dihadapkan pada perubahan masyarakat dalam berbagai kehidupan yang dikehendaki dan direncanakan secara nasional. Oleh karena itu, kodifikasi dan unifikasi hukum dituntut untuk memperhatikan dan menampung keaneka ragaman budaya dan kesadaran hukum masyarakat yang mengacu pada keyakinan dan nilai-nilai yang mereka anut. Upaya dalam hal ini dilakukan dalam berbagai bidang, di antaranya: bidang hukum ketata-negaraan, bidang hukum pidana dan perdata.
Menurut Bagir Manan, Program penyusunan kodifikasi hukum ternyata tidak dapat dilaksanakan sebagai mana mestinya. Kodifikasi selamanya mengandng berbagai kelemahan bawaan. Di satu sisi ia membutuhkan waktu lama karena harus lengkap dan menyeluruh, namun di sisi yang lain, kebutuhan hukum tidak mungkin menunggu, akibatnya timbul terobosan yang sering bersifat fighting the problem bukan solving the problem.
Dari asumsi diatas maka diperlukan terobosan-terobosan dalam pembentukan Hukum yang dapat mengikuti dinamika kehidupan masyarakat yang terus berubah dalam setiap tatanan hukum nasional sehingga harapan menjadikan hukum sebagai regulasi dan rel dalam perjalanan kehidupan dapat secara dinamis dapat mengikuti setiap perkembangan dalam dinamika kehidupan masyarakat.
Berikut ini dalam makalah kami, akan dibahas tentang bagaimana Urgensi kajian sosiologis terhadap pembentukan hukum, dan Hukum dan Dinamika masyarakat.

2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan diskripsi diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan kami bahas dalam makalah kami ini. Antara lain sebagai barikut :

1. Dinamika Masyarakat dan kebudayaan.
2. Hukum dan Dinamika Masyarakat.


3. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENULISAN
Ada pun tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan.
2) Untuk mengetahui hukum dan dinamika masyarakat.

Sedangkan kegunaan penulisan ini sebagai berikut :

1. Memberi dorongan kepada mahasiswa untuk senantiasa menambah wawasan dalam sosiologi hukum khusus pada masalah hukum dan dinamika masyarakat.
2. Dapat menjadi bahan pembelajaran dalam mata kuliah Sosiologi Hukum.
3. Dapat mengimplementasikan pembelajaran Sosiologi Hukum dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan.
Dinamika masyarakat berasal dari kata dinamika dan masyarakat. Dinamika berati interaksi atau interdependensi antara masyarakat satu dengan yang lain, sedangkan masyarakat adalah kumpulan individu yang saling berinteraksi dan bersosialisasi serta mempunyai tujuan bersama.
Maka Dinamika Masyarakat merupakan suatu kehidupan masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih individu dalam suatu wilayah yang memiliki hubungan psikologis secara jelas antara masyarakat yanf satu dengan yang lain dan berlangsung dalam situasi yang dialami.
Untuk menganalisa secara ilmiah tentang gejala-gejala dan kejadian sosial dan budaya di masyarakat sebagai proses-proses yang sedang berjalan atau bergeser diperlukan beberapa konsep. Konsep-konsep tersebut sangat perlu untuk menganalisa proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan serta dalam sebuah penelitian antropologi dan sosiologi yang disebut dinamika sosial (social dynamic). Konsep-konsep penting tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Internalisasi (internalization).
Proses Belajar Kebudayaan Sendiri disebut Proses Internalisasi. Manusia mempunyai bakat tersendiri dalam gen-nya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi kepribadiannya. Tetapi wujud dari kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam pengaruh yang ada di sekitar alam dan lingkungan sosial dan budayanya. Maka proses internalisasi yang dimaksud adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal, dimana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala hasrat, perasaan, nafsu, serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.

2. Sosialisasi (socialization).
Proses sosialisasi. Proses ini bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu di sekililingnya yag menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari.
3. Enkulturasi (enculturation).
Proses Enkulturasi. Dalam proses ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Kata enkulturasi dalam bahas Indonesia juga berarti “pembudayaan”. Sorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya.
4. Evolusi kebudayaan (cultural evolution).
Proses evolusi Sosial. yang mengamati perkembangan kebudayaan manusia dari bentuk yang sederhana hingga bentuk yang semakin lama semakin kompleks. Proses ini mengenai suatu aktivitas dalam sebuah lingkungan atau suatu adat dimana aktivitas yang dilakukan terus berulang. Dan aktivitas yang dimaksud biasanya aktivitas yang menyimpang atau diluar kehendak prilaku. Namun pada suatu ketika dan sering terjadi aktivitas tersebut selalu berulang (recurent) dalam kehidupan sehari-hari disetiap masyarakat. Sampai akhirnya masyarakat tidak bisa mempertahankan adatnya lagi, karena terbiasa dengan penyimpangan-penyimpangan tersebut. Maka masyarakat terpaksa memberi konsesinya dan adat serta aturan diubah sesuai dengan keperluan baru dari individu-individu didalam masyarakat. Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan. Dengan mengambil jangka waktu yang panjang maka akan terlihat perubahan-perubahan besar yang seolah bersifat menentukan arah (dirctional) dari sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan.
5. Difusi (diffusion).
Proses difusi yaiu penyebaran kebudayaan secara geografi, terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi. Proses Difusi dapat dikatakan Penyebaran Manusia. Ilmu Paleoantropologi memperkirakan bahwa manusia terjadi di daerah Sabana tropikal di Afrika Timur, dan sekarang makhluk itu sudah menduduki hampir seluruh permukaan bumi ini. Hal ini dapat diterangkan dengan dengan adanya proses pembiakan dan gerakan penyebaran atau migrasi-migrasi yang disertai dengan proses adapatasi fisik dan sosial budaya.
6. Proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing.
Penyebaran Unsur-Unsur Kebudayaan. Bersamaan dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi, turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan dan sejarah dari proses penyebaran unsur penyebaran kebudayaan seluruh penjuru dunia yang disebut proses difusi (diffusion). Salah satu bentuk difusi dibawa oleh kelompok-kelompok yang bermigrasi. Namun bisa juga tanpa adanaya migrasi, tetapi karena ada individu-individu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu, dan mereka adalah para pedagang dan pelaut.
Proses ini dilakukan oleh warga suatu masyarakat, melalui proses akulturasi (acculturation) dan asimilasi (assimilation). Akulturasi yaitu Proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Sedangkan Asimilasi. Merupakan Proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda-beda. Kemudian saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan golongan-golongan tersebut masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan yang campuran.
7. Proses pembaharuan atau inovasi (innovation). yang berhubungan erat dengan penemuan baru (discovery dan invention).
Pembaruan atau Inovasi adalah suatu proses pembaruan dari penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi, dan dibuatnya produk-produk baru. Proses inovasi sangat erat kaitannya dengan teknologi dan ekonomi. Dalam suatu penemuan baru biasanya membutuhkan proses sosial yang panjang dan melalui dua tahap khusus yaitu discovery dan invention.
Discovery adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat baru, ide baru, yang diciptakan oleh individu atau suatu rangkaian dari beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Discovery baru menjadi invention apabila masyarakat sudah mengakui, menerima, dan menerapkan penemuan baru itu. Pendorong Penemuan Baru.
B. Hukum dan Dinamika Masyarakat.
Setelah beberapa konsep pergeseran pola prilaku masyarakat dalam dinamika sosial yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya terlihat jelas bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan kebudayaan masyarakat. Maka dituntulah suatu hukum yang dapat mengarahkan masyarakat kepada aturan dalam berkehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hukum yang berupa perundang-undangan atau peraturan pada umumnya dirancang berdasarkan asumsi-asumsi tertentu. Desain pengadilan menjadi begini atau begitu, misalnya didasarkan pada perkiraan rata-rata jumlah perkara yang masuk. Berangkat dari situ ditentukan jumlah hakim, panitera, ruang-ruang sidang fasilitas fisik lainnya.
Akan tetapi, keadaan tidak selalu sesuai dengan perkiraan, sehingga dapat muncul keadaan luar-biasa yang tidak diduga sama sekali. Situasi seperti ini pernah terjadi di Amerika Serikat, menyusul produksi obil yang menyebabkan banjir kendaraan di jalan-jalan. Pada gilirannya terjadi banyak kecelakaan yang akhirnya berujung di pengadilan. Desain pengadilan yang tidak siap menghadapi arus perkara yang masuk, akhirnya harus menyiapkan ketentuan-ketentuan khusus atau menghadapi risiko ambruk (collapse).
Dalam sejarah dijumpai munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru yang tidak siap dihadapi oleh perundang-undangan yang ada. Perkembangan mutakhir adalah maraknya penggunaan komputer dan internet yang kecuali memperkenalkan praksis baru didunia perdagangan, juga menyebabkab terjadi kejahatan di dunia maya (cybercrime)
Hal dan kejadian yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa sewaktu-waktu hukum memang dihadapkan kepada situasi luar biasa. Apapun juga yang terjadi dan dihadapi, hukum tidak dapat berhenti dan menolak untuk bekerja, semata-mata berdasarkan alasan, bahwa ia tidak dipersiapkan untuk itu. Dalam situasi seperti itu, mau tidak mau kita akan memasuki ranah cara berhukum yang luar-biasa. Apabila cara-cara biasa atau normal disebut “rule making”, maka cara luar-biasa ini disebut “rule breaking” atau mematahkan dan menerobos hukum yang ada.
Sekali lagi, kita melihat dan mengalami, betapa perjalanan hukum itu tidak selalu lurus-lurus saja, melainkan berkelok-kelok dan di sana-sini berupa patahan-patahan. Oleh patahan tersebut, perjalanan hukum menjadi terputus, untuk kemudian dilanjutkan lagi. Ilmu dan teknologi sekarang sudah semakin menjadi dewasa, dalam arti tidak lagi berpikir secara hitam putih, melainkan mengakui komplektisitas, ketidakpastian dan relativitas.
Para ahli yang mengatakan bahwa hukum itu sungguh otonom dan sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan di luar hukum, berpendapat bahwa apa pun yang terjadi di luar yang menentukan apa yang akan dilakukan oleh hukum adalah lawyers sendiri. Hukum itu adalah “law of the lawyers”. Maka sekalipun terjadi perubahan perubahan besar di dunia, sebelum para lawyers mengatakan bahwa hukum harus diubah, perubahan pun tidak akan terjadi dan bisnis hukum akan berjalan seperti biasa.
Di lain pihak, para strukturalis seperti Nonet dan Selznick, mengintegrasikan dunia di luar hukum dengan hukum itu sendiri. Perubahan-perubahan di luar secara generik akan berpengaruh kepada hukum. Ini dilakukan oleh kedua orang tersebut dengan developmental modelnya. Selama ini (ditulis tahun 70-an), hukum dan lingkungan sosial terpisah secara tajam. Hukum bekerja menurut apa yang dianggapnya betul, tanpa menengok keluar, kepada penyelesaian yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial. Pengadilan dijalankan menurut logika hukum. Dengan demikian hukum menjadi mandul, demikian Nonet dan Selznick. Karena itu, mereka menyarankan agar hukum juga memanfaatkan apa yang mereka namakan “social science strategy”
Dewasa ini bangsa indonesia sedang menghadapi masalah-masalah besar seperti korupsi, perkembangan ekonomi yang lamban, kerusakan dan kemerosotan lingkungan, bangkitnya rakyat dalam berdemokrasi dan sejumlah masalah besar lainnya. Hanya mengandalkan hukum yang bekerja konvensional dan tetap bekerja menurut cara dan irama biasa, melakukan “business as usual” ternyata tidak menolong banyak.
Fokus kepada Masalah Korupsi yang sekarang sudah semakin meruyak itu, adalah contoh dari keadaan luar-biasa yang terjadi di negara ini. Maka masalah korupsi pun harus mendapat penanganan secara luar biasa pula, dari kejadian kecil-kecilan di tahun 50-an, sekarang sudah berkembang menjadi extraordinary crime. Saat indonesia mengalami keadaan seperti itu, yang disebut keadaan luar-biasa (extraordinary).pada tahun tersebut, Dibentuklah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) tahun 1999 yang merupakan cara-cara luar-biasa (extra-ordinary meansures) untuk menghadapi masalah korupsi tersebut. Bahkan Tim tersebut pernah menyarankan kepada pemerintah agar menyatakan indonesia dalam “keadaan darurat perang melawan korupsi”. Tetapi harapan untuk menyambut langkah progresif tersebut berakhir disebabkan TGPTPK dibubarkan oleh Mahkamah Agung pada waktu itu. Dengan alasan pembentukan TGPTPK tersebut cacat yuridis dan prosedural.
Tetapi apa pun yang terjadi kita tidak dapat terus-menerus membiarkan penyelesaian terhadap masalah-masalah besar di negeri kita begitu saja, seolah-olah tidak ada masalah besar tanpa melakukan perombakan dalam cara kerja hukum di negeri ini. Dengan perubahan besar kepada beberapa institusi hukum dan jajaran-jajaran pemerintahan.
Perubahan besar tersebut pun tidak mungkin terjadi mana kala orang waktu itu tetap berpikir biasa-biasa saja dalam menyelesaikan masalah-masalah besar tersebut yang berarti meneruskan praktik yang sesungguhnya sudah dirasakan ketidakadilan dan ketidakbenarannya. Belajar dari pengalaman bangsa lain tersebut dan dari sejumlah pengalaman kita sendiri, kita dapat mengatakan bahwa kesediaan dan keberanian untuk berpikir luar-biasa sangat dibutuhkan sebelum melangkah kepada tindakan konkret.
Sekarang kita sudah sampai pada satu titik dalam peradaban manusia, dimana hukum harus sejalan dengan perkembangan masyarakat. Jika diasumsikan, perkembangan masyarakat saat ini tidak lagi berjalan seperti yang biasanya tetapi melesat bagai mobil dengan kecepatan tinggi. Artinya dengan arus modern dan globalisasi saat ini yang secara tidak langsung berpengaruh kepada perkembangan kehidupan masyarakat, maka dari itu keadaan tersebut tentu harus di tunjang dengan hukum lebih responsif menanggapi hal tersebut, jika perkembangan masyarakat yang melesat bagai mobil, harusnya didukung oleh hukum yang lebih maju kedepan, melesat bagai pesawat terbang, yang berarti dinamis mengikuti perkembangan masyarakat.
Hukum yang kita gunakan sekarang ini adalah sebuah karya manusia yang dibuat dengan sengaja (purposeful). Hukum itu berubah dari masa ke masa. Sejarah hukum modern sekarang ini dimulai mundur untuk kurun waktu ribuan tahun yang lalu. Tidak hanya hukum modern yang muncul tetapi juga sejumlah konsep, asas, konstruksi, doktrin yang menyertainya dan yang berfungsi untuk memelihara dan menjalankan hukum modern tersebut. Kumpulan dari sekalian hal tersebut membentuk citra “hukum yang normal”. Hukum ingin dicitrakan sebagai produsen ketertiban dan oleh karena itu harus dijaga dengan berbagai cara, termasuk ide kepastian hukum. Para profesional hukum akan mengatakan bahwa mereka tidak bisa mulai bekerja kalau kita tidak mematok kepastian hukum kepatuhan hukum dan lain-lain. Harusnya profesional hukum tersebut harus bekerja karena kepedulian mereka adalah kepada kebenaran dan bukan kepada profesi. Namun demikian dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa yang besar sekarang ini, termasuk pemberantasan korupsi dan masalah-masalah hukum lainnya diperlukan Hukum yang merupakan karya manusia yang berupa noma-norma, berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu hukum harus mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai suatu keadilan.
Hukum selalu berhubungan dengan masyarakat dan perilaku-perilakunya dalam konteks interaksi sosial, oleh karena itu permasalahan hukum selalu menjadi wacana yang sangat menarik. Mengapa hukum selalu menjadi perhatian yang sangat menarik pada saat ini, karena perilaku-perilaku dari masyarakat dalam interaksi sosial sangat bertalian dengan masalah keadilan. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik tak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat.
Dengan demikian setiap membicarakan hukum tidak terlepas dari konteks persoalan keadilan, Kita tidak dapat membicarakan hukum dari wujud formalnya saja, tetapi harus dilihat juga dari ekspresi cita-cita keadilan masyarakat.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dinamika Masyarakat merupakan suatu kehidupan masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih individu dalam suatu wilayah yang memiliki hubungan psikologis secara jelas antara masyarakat yanf satu dengan yang lain dan berlangsung dalam situasi yang dialami.
Perubahan-perubahan dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial dari individu dan kelompok sosial yang menjadi bagian dari masyarakat. Gerakan sosial dalam sejarah masyarakat dunia bisa muncul dalam bermacam bentuk kepentingan, seperti mengubah struktur hubungan sosial, mengubah pandangan hidup, dan kepentingan merebut peran politik (kekuasaan). Ilmu sosiologi, perubahan sosial dan dinamika gerakan sosial dari masa klasik sampai kontemporer.
Hukum selalu berhubungan dengan masyarakat dan perilaku-perilakunya dalam konteks interaksi sosial, oleh karena itu permasalahan hukum selalu menjadi wacana yang sangat menarik. Mengapa hukum selalu menjadi perhatian yang sangat menarik pada saat ini, karena perilaku-perilaku dari masyarakat dalam interaksi sosial sangat bertalian dengan masalah keadilan. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik tak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat.
B. Saran
1) Di harapkan dalam setiap pertemuan dalam mata kuliah ini di angkat suatu masalah yang dapat di diskusikan secara bersama-sama.
2) Di harapkan mahasiswa dapat secara mendalam menalaah setiap kasus atau masalah yang timbul di tengah-tengah masyarakat dan dapat di implementasikan dalam mata kuliah Sosiologi hukum terkhusus pada menelaah hukum dan dinamika masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Basrowi M.S. Pengantar Sosiologi (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005).

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi:Klasik dan Modern (Jakarta:Gramedia, 1994).

Soejono Soekanto, Sosiologi:Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1987).

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, ( Jakarta ; Buku Kompas, 2007 )

Sorjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1989),